Dua minggu setelahnya, aku ditemani orangtuaku pergi ke Dokter untuk check up Hati ini berdebar kencang, mengingat apa yang akan ku lalui. Namun, aku siap dengan berbagai kemungkinan terburuk. Akhirnya, saat masuk ruang pemeriksaan, Dokter menyambutku dengan senyuman. "Bismillah yah, kita lihat hasilnya sama-sama." Ku lihat layar monitor, dan terpampang jelas ada makhluk kecil yang sedang berenang dengan aktif dalam rahimku. Alhamdulillah, akhirnya bakal janin sudah nampak dan sesuai dengan usianya. Akupun tak kuasa menahan tangis. Aku memeluk mamah yang sama-sama menangis. Setelahnya ku lanjutkan perjalanan kehamilan pertamaku dengan bahagia, optimis, dan berfikir positif. AKu sehat, anakku sehat, kami berdua sehat dan kuat.
Menjalani trimester pertama dengan penuh drama membuat aku sangat peka dan insecure. Menginjak usia 18 minggu, aku dan suami mulai menerka-nerka jenis kelamin anak kami. Sungguh, dari awal memiliki keinginan untuk hamil. Hati ini sangat mendambakan anak perempuan pun dengan suamiku. Aku mulai membayangkan betapa bahagianya jika suatu saat aku memiliki teman untuk menghabiskan waktu bersama dengan berbagai keceriaannya. Hingga akhirnya pada usia kandungan 19 minggu, dokter memberikan khabar mengenai jenis kelamin dari bayi yang sedang ku kandung. "Alhamdulillah, selamat yah calon bayinya berjenis kelamin laki-laki." Deg, aku dan suamipun saling bertatapan. Sungguh, aku tak pernah membayangkan bagaimana jadinya jika aku memiliki anak laki-laki. Beberapa hari setelahnya aku masih termenung, memutar otak dengan berbagai kemungkinan. Salah satunya, aku takut aku tak bisa dekat dengan anakku sendiri, aku takut anakku akan lebih dekat dengan Bapaknya, bahkan merasa canggung untuk sekadar bersenda gurau dengan Ibunya. Kembali suami menguatkan dengan berbagai sugesti positifnya. Isu gender disappointment ternyata memang benar adanya. Setelah ku tancapkan hatiku, perlahan tapi pasti hati ini mulai menerima ketetapannya. Aku pastikan untuk selalu memberikan yang terbaik untuk anakku. Sehingga nantinya, aku akan tetap bisa bersamanya, menghilangkan rasa canggung yang selama ini ku takutkan, menjadikan aku sebagai tempat ia berlindung, dengan cara mencintainya sepenuh hati.
Dengan berbahagia, ku lanjutkan hari demi hari bersamanya, memastikan berbagai asupan terbaik untuknya, menyayanginya bahkan sebelum kami bertemu....
Bukankah hidup dan berjuang bersama dengan orang yang kamu cinta adalah hal yang didamba setiap manusia? Termasuk saya. 2013 silam, ada seorang lelaki yang menarik perhatian saya. Dama, Lelaki dengan tinggi 175cm, penyuka angka, dan tak pernah mengenal asap rokok itu membuat saya kagum. Awalnya saya tak pernah terpikirkan untuk menjalin hubungan serius dengannya, hanya menjalani saja karena memang usia saya saat itu masih jauh dari pemikiran-pemikiran tentang masa depan. Usia dimana saya masih tergila-gila dengan oppa korea. Namun, ia, dengan keseriusannya meminta untuk diperkenalkan kepada kedua orang tua saya, pun sebaliknya ia kenalkan saya pada orang tuanya. Singkat cerita, tahun demi tahun kami lalui, putus nyambung pun kami lalui. Namun anehnya setiap hendak berpisah, layaknya magnet, kami selalu tertarik ke titik awal dimana kami bersama. Takdir mungkin. Titik klimaks hubungan kami adalah disaat kami berdua telah lulus, keinginan untuk menikah pun sudah semakin besar. Namun te...

Komentar
Posting Komentar